Zero Waste Didorong Jadi Strategi Nasional Hadapi Krisis Iklim

Rabu, 08 Oktober 2025 | 23:39:32 WIB
Republika/Thoudy BadaiPetugas mengangkut sampah ke atas mobil truk untuk dibawa menuju Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. (ilustrasi)rep

Jakarta,sorotkabar.com - Gerakan nol sampah atau zero waste dinilai sebagai salah satu solusi paling nyata dalam menghadapi krisis iklim, asalkan dipandang dengan perspektif lintas sektor dan berbasis keadilan. 

Climate Program Officer di Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), Yobel Novian Putra, mengatakan isu zero waste tidak hanya tentang kebersihan atau sampah, tetapi juga perjuangan atas sumber daya alam.

“Kami ingin memastikan sumber daya itu tidak terbuang di hilir dan tidak mendorong ekstraksi baru di hulu,” kata Yobel dalam kegiatan Koordinasi Jaringan Kelompok Masyarakat Sipil Terkait Isu Sampah dan Krisis Iklim, Selasa (7/10/2025) lalu.

GAIA merupakan jaringan organisasi akar rumput terbesar di dunia yang bergerak pada isu sampah dan keadilan iklim. Salah satu jaringannya di Indonesia adalah Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI).

Melalui jejaring ini, GAIA berupaya membangun narasi baru tentang pengelolaan sampah yang menempatkannya dalam kerangka keadilan ekologis dan sosial.

Menurut Yobel, kontribusi sampah terhadap emisi global memang hanya sekitar 3 hingga 5 persen. Namun, angka itu menyesatkan jika hanya dilihat dari kategori sektor iklim konvensional.

“Pemerintah sering memandang sampah hanya sebagai urusan kebersihan, padahal persoalan ini berkaitan langsung dengan produksi, konsumsi, dan sistem ekonomi material,” ujarnya.

Ia menegaskan, lebih dari 60 persen emisi global sebenarnya berasal dari rantai material, mulai dari ekstraksi sumber daya alam, produksi, hingga distribusi.

Plastik menjadi salah satu contoh nyata karena berasal dari bahan bakar fosil dan berkontribusi besar terhadap ketidakadilan lingkungan. “Plastik adalah fossil fuel,” tegas Yobel.

“Masalahnya bukan di sampah plastiknya, tapi pada industrinya yang terus mengekspansi produksi dan mendapatkan insentif besar,” ujarnya.

Yobel menyoroti kebijakan Indonesia yang memberi insentif pajak selama 25 tahun bagi industri petrokimia besar, sementara masyarakat justru menanggung dampak lingkungan di sekitar kawasan industri tersebut. “Ini bukan lagi isu sampah, tapi isu industri dan keadilan,” katanya.

Di tingkat global, Yobel menyebutkan, emisi dari produksi dan pembakaran plastik pada 2050 diperkirakan setara dengan 615 pembangkit listrik tenaga batu bara di Amerika Serikat. Tren ini diperparah dengan meningkatnya pembakaran plastik dalam pabrik semen dan PLTU di berbagai negara, termasuk Indonesia. 
 
Selain plastik, Yobel menekankan pentingnya menangani sampah organik yang menjadi sumber utama gas metana di tempat pembuangan akhir (TPA).

Gas metana, katanya, merupakan polutan kuat yang mempercepat pemanasan bumi hingga 80 kali lipat dibanding karbon dioksida.

“Perjuangan kita bukan hanya menurunkan karbon dioksida ekuivalen, tapi memperlambat laju pemanasan global, dan itu artinya kita harus serius menangani metana,” ujarnya.

Namun, banyak kebijakan pemerintah dinilai masih keliru. Ia mencontohkan proyek penangkapan gas metana di TPA yang sering kali dilakukan di fasilitas lama tanpa sistem efisien.

“Modelnya hanya colok pipa tanpa jejaring, dan justru memberi insentif agar sampah pangan terus masuk ke TPA,” kata Yobel.

GAIA menolak solusi semu seperti insinerator atau Refuse Derived Fuel (RDF) yang kini banyak diusung pemerintah daerah. Menurut Yobel, pembakaran sampah justru menghasilkan emisi lebih besar daripada batu bara karena mengandung karbon organik yang dianggap “netral” dalam pelaporan, padahal tetap menambah panas bumi.

“Kami menegaskan, pembakaran dalam bentuk apa pun bukan solusi,” ujarnya.

Sebagai alternatif, GAIA mempromosikan komposisasi atau pengomposan skala kota dan komunitas sebagai teknologi rendah karbon yang efektif.

“Kompos bisa mengurangi 87 persen emisi metana hingga 2030, dan hingga 95 persen jika dilakukan secara global,” kata Yobel.

Kompos juga dapat meningkatkan daya serap tanah dan berpotensi masuk ke skema pembiayaan adaptasi iklim.

Ia menambahkan, kebijakan subsidi yang timpang membuat pupuk organik tidak kompetitif dibanding produk petrokimia yang disubsidi besar-besaran.

Karena itu, GAIA mendorong reformasi subsidi publik agar mendukung ekonomi sirkular dan praktik ramah lingkungan. “Kita bukan tidak punya uang, tapi uangnya tidak digunakan dengan tepat,” ujarnya.

Yobel juga mengingatkan bahwa pekerja informal seperti pemulung sering menjadi korban kebijakan penutupan TPA dan pembangunan insinerator. “Zero waste sejati adalah yang adil dan tidak meninggalkan siapa pun,” tegasnya.

Menurutnya, pendekatan zero waste harus diintegrasikan dengan agroekologi dan keadilan pangan.

“Di banyak kota, pengolahan sampah organik justru ditangani dinas pangan, bukan lingkungan hidup. Ini membuka peluang kolaborasi lintas sektor,” katanya.

Menjelang COP30, Yobel menilai momentum kebijakan nasional harus dimanfaatkan untuk mendorong implementasi nyata di lapangan, termasuk revisi peraturan tentang pengelolaan sampah, pangan, dan energi.

“Kalau kita gagal menavigasi situasi ini, kita akan terjebak dalam solusi palsu yang hanya ganti nama, sementara masalahnya makin besar,” ujarnya.

Bagi GAIA, masa depan pengelolaan sampah bukan soal teknologi mahal, melainkan soal keberanian menyatukan gerakan lintas sektor untuk keadilan iklim. “Kita butuh maximum unity untuk menghadapi krisis ini,” tutup Yobel. (*) 
 

Terkini